Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Struktur Sosial & Premanisme para Fundamentalisme

Apa yang Anda dengar sebagai struktur sosial, benar adanya. Apa yang Anda dengar dari orang bahwa struktur sosial mengharuskan Anda untuk melakukan ini dan itu, adalah salah? Terdapat falasi atau kekeliruan berpikir bagi sebagian orang yang menganggap bahwa hasil penelitian struktur sosial mereka mengharuskan sekelompok orang harus melakukan sesuatu. Para ilmuwan sosial menyebutkannnya sebagai rekayasa sosial.

Sebentuk pabrik pemahaman dan pabrik kesepakatan, bahwa struktur sosial yang tengah berdiri harus bisa diperbaiki, struktur sosial harus bisa diluruskan dalam sebentuk rencana dan kertas kerja. 

Banyak yang tidak dipahami oleh kebanyakan mereka yang percaya akan keberadaan rekayasa sosial. Tentu saja pendapat itu sendiri sudah didasarkan pada impact yang telah didapatkan, dari kegagalan proyek third reich Hitler, kegagalan proyek demokratisasi Timur Tengah, atau kegagalan proyek mengkhalifahkan seluruh dunia oleh orang Islam, kegagalan proyek Orde Baru.

Semua rekayasa sosial yang memaksakan suatu bentuk pola birokratisme pada banyak tempat akan berakhir dengan kegagalan. Struktur sosial tidak bisa dipaksakan dari pusat.

Apa dan Mengapa Struktur Sosial itu?

Apa dan mengapa struktur sosial itu? Jawabannya, secara sederhana struktur sosial, terutama mencakup hubungan, interaksi, cara di mana masyarakat dibagi dalam hubungan yang terprediksi, pola interaksi sosial (cara orang menanggapi satu sama lain), serta pola sejenis, yang sampai batas tertentu yang saling berinteraksi itu beraksi secara independen secara individulis. Lantas mereka mengerahkan kekuatan yang membentuk perilaku dan identitas.

Struktur Sosial - Intitusionalisasi Membentuk Struktur

Disyaratkan hubungan itu sendiri membutuhkan adanya semacam pola, rekam, bahasa, yang telah diinstitusionalisasikan atau telah memiliki sebentuk pranata sosial tersendiri. Di mana orang berperilaku dan berinteraksi berdasarkan dari pranata yang telah ada. Yang berlawanan sifat dengan struktur sosial adalah dominasi sosial.

Bilamana struktur sosial mensyaratkan adanya saling mengisi, saling menempatkan dalam bentukan dialektika, maka dominasi sosial adalah sebentuk subdue, penjajahan satu pihak tidak memberikan kesempatan pada pihak lain, memenjarakan pemikiran dan keinginannya untuk melakukan sesuatu, bukan dalam rangka sebagai proses pembelajaran, tapi murni penggunaan kekuasaan dan hegemoni.

Pranata sosial dalam struktur sosial dan bahkan dominasi sosial tidak sepenuhnya berjalan secara ideal. Struktur sosial dan dominasi sosial selalu mendapatkan penentangan sebagai sifat natural manusia yang berjalan atas ide ‘pemberontakan’.

Pada saat yang sama, orang bisa membawakan dan mengajarkan semacam ‘kesepakatan’, pada saat itu juga orang bisa membawa suatu konsep ‘penolakan’. Strugling antara sepakat dan menolak yang menjadikan adanya perubahan sosial atau dinamisme sosial. Contoh mudahnya, apabila pranata mengharuskan adanya pemenjaraan atas hak sipil seseorang, apakah serta-merta orang itu melakukan tindakan formal dengan mentaati peraturan yang telah diberikan padanya?

Sisi ekonomis manusia lantas bicara perihal berbeda, mencoba lepas dari kondisi yang merugikan mereka. Oleh karena itulah, manusia menolak dieksekusi oleh hukum jalanan sebelum mendapatkan keadilan, diadili diberikan hak untuk bicara atas dasar kesalahannya.

Pengadilan merupakan perihal bermuatan ekonomis, di mana struktur sosial dijaga. Bila pengadilannya rusak dan korup, maka struktur sosial (bahkan dominasi sosial) akan sama-sama hancur dan korup. Karena kebenaran dan sisi ekonomis manusia di atas bawah dari perasaan adil merupakan hal yang masih dihargai oleh sisi kemanusiaannya sendiri.

Dalam ruang pengadilan, seorang terdakwa akan terus bernegosiasi dengan pranata sosial lebih besar demi tercapai keseimbangan yang membuat dirinya merasa stabil, merasa pas dengan hukuman berasaskan pranata tersebut, dan akan menjalani proses hukuman dengan baik sebagai bagian dari struktur sosial.

Dari penjelasan tentang struktur sosial di atas, maka bisa dipahami hal-hal berikut.

Struktur sosial muncul dari tatap muka interaksi orang yang membawa pesan independen individunya. Keduanya berbagi realitas (budaya dan sosialisasi). Individu dan kelompok yang terlibat sama-sama membentuk semacam pola yang berorientasi kepada biografi yang menghasilkan definisi dan interpretasi tertentu.

Individu mencoba untuk membuat segala sesuatunya masuk di akal terhadap segala macam situasi agar semuanya bertujuan praktis.

Individu melakukan tawar-menawar, kompromi, melakukan proses mendefinisikan kembali, dan lantas menghasilkan semacam rasa yang muncul, perasaan yang akan menghasilkan kepuasan tertentu sebagai harga dari  realitaskestabilan.

Beberapa situasi memungkinkan terjadinya perubahan negosiasi terhadap peraturan dasar bersama atau lebih banyak lagi perubahan, bergantung pada ciri kuat lemahnya institusi.

Formal vs informal, misalkan peraturan: Hukum pajak, vs permohonan dan suap, serta sandiwara individu terhadap peraturan, memohon, mengiba untuk tidak melaksankan dan melanggar peraturan.

Struktur Sosial - Premanisme Fundamentalis

Anda tidak akan pernah mampu membentuk struktur sosial tanpa adanya semacam treaty atau kesepakatan. Manusia berada di tengah kondisi di mana dia harus siap belajar dan strugle terhadap peranan yang ada. 

Manusia mempelajari banyak konsekuensi dalam hidupnya dan beruapaya untuk semaksimal mungkin mendapatkan konsekuensi paling aman agar dia bisa melanjutkan hidup. Namun yang semacam itu tidaklah mutlak.

Kondisi di atas, di mana struktur sosial sulit dibentuk, kebalikannya akan mudah terbentuk bila sudah ada semacam form ajeg, yang memungkinkan orang mendasarkan dirinya pada semacam identitas sosial. Mereka membuang identitas individunya demi identitas sosial semacam itu. Mereka telah menjadi bagian dari organisasi, dengan perasaan kepemilikan.

Itulah yang dinamakan dengan pola solidaritas sosial. Pola semacam ini menjadikan pranata sebagai subjek dan pemikiran serta kehendak manusia adalah objek. Pola semacam ini umum hadir pada pranata yang begitu mengikat dan terkonsolidasi pada pemahaman manusia yang rigid. Misalkan pada masyarakat teokratis.

Dalam Islam dikenal istilah "ummat", yang merupakan satu kesatuan, persaudaraan atas dasar iman. Ummat ini sendiri merupakan bentuk kesalahkaprahan para pemikir religi muslim terhadap apa yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad. Benar Nabi Muhammad memiliki ummat yang dinamakan Ummat Islam. Namun setelah Nabi Muhammad mangkat, maka ummat adalah sesuatu yang cair. Mereka menanamkan oath atau janji hanya kepada Tuhan dan Muhammad saw., bukan kepada manusia lain yang mengatasnamakan keduanya.

Ulama dan para pemikir muslim hanya dipandang sebagai pemberi masukan terhadap kebenaran yang harus terus menerus digali sepanjang zaman, dalam konteks keislaman dan kajian terhadap kitab suci Al-quran serta ucapaan Nabi uhammad. Oleh karena itulah, sang Rasul mewanti-wanti agar pada scholar muslim menjauhi kekuasaan.

Mereka yang mendekati kekuasaan digolongkan sebagai ulama jahat karena sang Nabi memahamai bahwa proses struktur sosial serta institusionalisasi masyarakat tidak bisa dipaksakan kepada satu tafsiran, sebagaimana sang Nabi melihat Sunatullah, bahwa Allah tidak hendak menjadikan manusia itu satu golongan. 

Mereka harus berada selalu dalam kondisi stance dialektis agar tercapai pemahaman murni yang bisa diperas dan masing-maisng golongan mencoba mencapai kebaikan yang dinamakan perlombaan untuk berbuat baik.

Untuk itulah, ada semacam pemahaman salah kaprah yang mengaggap bahwa struktur sosial pada Islam didasarkan dari motif solidaritas untuk identitas. Seandainya ada motif solidaritas semacam itu, lebih kepada nilai universal untuk mengangkat kaum yang ditindas atau para mustadaffin. Pemahaman yang sejenis dengan fundamentalisme pada Islam yang mengaggap bahwa struktur sosial harus bermakna solidaritas selalu juga ada pada bentuk pemahaman ajaran lainnya, baik itu pengusung ajaran agama lain atau pengusung anti agama atau atheisme yang selama ini senang bersembunyi di balik jargon sekulerisme dan pluralitas.


Pada kenyataannya, bila satu golongan telah mencapai taraf solidaritas yang kuat demi melakukan pertentangan dan penentangan aksi premanisme antarmanusia, membawa pentungan melakukan vigilante, aksi melanggar hukum dan pranata, mereka tidak benar-benar ditundukkan oleh hukum karena institusionalisasi yang salah dan ketidakpahaman akan struktur sosial yang ada.