Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Dan Korupsi

Apa jadinya suatu negara yang bertitel negara hukum (rechstaat), yang idealnya setiap aparatur hukumnya menunjukkan komitmen tinggi dalam penegakan hukum, justru terlibat dalam perkara mengamankan atau memberi jalan licin (mulus) bagi koruptor? Atau masih pantaskah Indonesia bergelar negara hukum kalau aparatnya terjebak dalam lingkaran setan sebagai aparat penghalal malapraktik profesinya?

Suatu saat filsuf kenamaan Socrates ditahan pejabat kepolisian dengan tuduhan melakukan pelanggaran hukum. Sang murid yang bernama Creto dan sudah menjadi pengusaha sukses datang mengunjunginya (Socrates). Maksud kunjungannya adalah membebaskan Socrates, karena Creto menilai gurunya tidak mungkin bersalah. Maukah Socrates menerima ‘jasa baik’ muridnya ini?

Ternyata Socrates menolaknya sambil berkata, “Aku memang tidak bersalah, tetapi cara salah tidaklah benar jika digunakan untuk memperjuangkan tegaknya kebenaran dan keadilan hukum. Apa jadinya masyarakat jika mengetahui aku dibebaskan dari jeratan hukum dengan cara mengkhianati hukum. Kelak masyarakat akan meniru caraku. Bukan untuk memperjuangkan kebenaran hukum saja, tetapi juga untuk melecehkan hukum.” (Bambang Satriya, 2010)

Paparan Socrates itu seharusnya bisa terbaca dengan kebeningan nalar, bahwa opsi di luar hukum tidak sepatutnya digunakan untuk mengelabui atau mengamputasi kinerja elemen sistem hukum semisal peradilan pidana (criminal justice system).

Hukum selayaknya harus dikonstruksikan tempat yang steril dari gangguan tangan-tangan kotor (the dirty hands) yang bermaksud menghalangi dan mematikan idealisme norma-norma yuridis, termasuk pihak-pihak yang ‘sepertinya’ berambisi dan beridealisme mewujudkan penegakan hukum seperti aparat penegak hukum. Namun faktanya, menerapkan politik tebang pilih atau mengorupsi sakralitas sistem hukumlah yang mengakibatkan cedera dan bopengnya wajah hukum Indonesia.

Akibat korupsi sistemik yang ikut dilakukan aparat, bukan hanya citra Indonesia saja yang terluka parah pada 2010, tetapi juga bisa menciptakan atmosfer buruk dan memprihatinkan yang bernama tirani peradilan di tahun ini.

Beban negara hukum yang terkorup pada 2010 setidaknya ditunjukkan oleh berbagai temuan. Emerson Yunto (2011) menyebut bahwa institusi penegak hukum yang diharapkan mampu menegakkan hukum dan memberantas korupsi juga tersandung dugaan korupsi tahun ini. Dimulai dari lembaga pemasyarakatan, dengan terbongkarnya sel mewah Artalyta Suryani, terpidana kasus suap. 

Selanjutnya terungkapnya rekening tidak wajar pada sejumlah petinggi di lingkungan kepolisian. Skandal pajak Gayus Tambunan pada faktanya juga mengungkapkan adanya mafia hukum di tubuh kepolisian dan kejaksaan. Terakhir adalah mencuatnya isu suap di tubuh Mahkamah Konstitusi.

Faktanya, tingkat korupsi di Indonesia dinilai masih tinggi dalam persepsi masyarakat internasional dan nasional. Political and Economic Risk Consultancy (PERC), sebuah lembaga survei di Hong Kong, Maret 2010 lalu menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup dari 16 negara di Asia. Hasil serupa juga disiarkan Transparency International Indonesia, bulan Oktober yang lalu, yang menempatkan Indonesia pada 2010 berada di posisi 110 dari 178 jumlah negara, tidak berubah jika dibandingkan dengan tahun 2009.

Label seperti itu berelasi dengan kinerja aparat yang menoleransi politik tebang pilih. Padahal, politik tebang pilih dalam penegakan hukum jelas bertentangan dengan prinsip mendasar konstitusi kita, yang sudah menggariskan bahwa setiap warga negara berkedudukan sederajat di dalam hukum (equality before the law). Prinsip ini sudah menentukan kata ‘setiap’ yang menunjuk pada siapa pun saja tanpa kecuali, tanpa didiskriminasi, tanpa dipilah dan dipilih, yang jika ada bukti permulaan memadai, secara egaliter seseorang harus dipertanggungjawabkan secara hukum.

Dalam Artikel 6 UDHR (Universal Declaration of Human Rights) atau yang dipopulerkan sebagai Deklarasi HAM PBB, disebutkan bahwa di mana pun semua orang berhak untuk mendapat pengakuan sebagai seseorang di depan hukum (recognition everywhere as a person before the law). Artikel 7 UDHR ini mempertegas: semua orang mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum, dan tanpa kecuali berhak untuk mendapat perlindungan hukum yang sama. Semua orang berhak untuk mendapat perlindungan terhadap diskriminasi apa pun yang melanggar deklarasi ini dan juga terhadap semua hasutan yang menganjurkan diskriminasi itu (against any incitement to such discrimination).

Dalam Pasal 17 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga diingatkan bahwa setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.

Baik dalam konstitusi, UDHR hingga ke UU HAM sudah jelas digariskan tentang kewajiban menghormati prinsip egaliter dalam penegakan hukum, dan bukan prinsip tebang pilih.

Pola tebang pilih dalam penegakan hukum merupakan bentuk pengkhianatan konstitusi dan pelanggaran HAM, yang bisa mengundang kekuatan jahat untuk menggencarkan tumbuh kembangnya korupsi di negara ini.

Yang punya kewajiban secara terorganisasi menerapkan prinsip egaliter adalah negara. Kemudian negara memberikan mandat kepada aparat penegak hukum untuk menerapkannya supaya menjadi ‘hukum yang hidup’ yang berbasiskan keadilan dan persamaan derajat.

Aparat penegak hukum memegang kunci utama yang menentukan arah dan warna penegakan hukum. Meski aparat penegak hukum menjadi kunci dalam penerapan hukum, secara umum rezim yang sedang berkuasalah yang bisa menciptakan atmosfer yang mendukung kinerja aparat ataukah tidak. Ketika rezim sekarang, misalnya, tidak mempunyai political will yang baik dan maksimal dalam penegakan hukum, yang diperoleh pun tidak merupakan hasil maksimal, dan bahkan boleh jadi sekadar mengisi ruang wacana yang seolah-olah pemerintah telah berbuat. Terbukti, tersangka korupsi tertentu masih mendapatkan perlakuan istimewa, sedangkan lainnya jadi korban ketajaman pedang hukum yang diayunkan aparat. Pola penanganan seperti itu jelas potensial melahirkan tirani peradilan gaya baru.

Implementasi sistem peradilan bisa membuat seseorang atau beberapa orang dikorbankan dan ditumbalkan secara mengenaskan. Mereka yang tidak berasal dari rezim yang berkuasa diposisikan tidak berdaya dan tidak punya nilai tawar saat berhadapan dengan peradilan. Dunia peradilan akhirnya tak ubahnya suatu ruang eksklusif bagi tiran-tiran baru yang merajalela dalam menentukan hitam putihnya norma hukum.

Itu artinya, jagat peradilan masih belum bisa diharapkan berpihak pada pencari keadilan yang egaliter, karena politik tebang pilih yang memperlakukan kader, rekanan, dan asal partai politik masih sangat kuat mencengkeramnya. Dunia peradilan masihlah jadi medan keadigungan elite durjana yang sangat lihai berkolaborasi dengan mesin-mesin politik tingkat tinggi, yang kesemua aksinya mengerucut pada pembenaran penyalahgunaan secara kolektif.