Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Peran Sektor Swasta Terhadap Pembangunan

Selama ini negara (birokrasi pemerintah) merupakan kekuatan inti dalam menyelenggarakan urusan publik, sehingga negara menempati posisi yang dominan dalam kehidupan. Munculnya permasalahan seperti lemahnya negara menjalankan mandatnya, perkembangan pada sektor privat dan civil society, dan sebagainya, membuat penyelenggarakan urusan publik tidak lagi terlalu berorientasi pada aktivitas oleh negara.

Dalam istilah Warsito Utomo (2007), terjadi perubahan dari government yang lebih menitikberatkan kepada otoritas menjadi governance yang menitikberatkan kepada kompatibilitas diantara state (pemerintah), private (sektor swasta), dan civil society (masyarakat madani). Negara menurut Utomo hanya akan berfungsi sebagai katalisator, yang mengandalkan peran aktor di luar negara untuk melaksanakan administrasi (administration by public).

 Peran Sektor Swasta Terhadap Pembangunan

Setidaknya ada beberapa argumentasi yang dipakai oleh beberapa pakar sehingga peran negara harus diubah. Utomo (2006) melihat pengaruh eksternal yakni globalisasi dan proses liberalisasi di dalam perekonomian dan perdagangan menjadi salah satu faktor penting perlunya penyesuaian peran birokrasi. 

Utomo menggunakan istilah upheaval dan turbulance yang menghendaki adanya interrelations dan interdependence antar komponen, sehingga birokrasi harus dengan cepat mengubah dirinya dan menjadi birokrasi sebagai institusi modal intelektual yang berorientasi pada ACE (Alignment, Creativity and Empowerment).

Dwiyanto (2004) melihat perubahan peran negara disebabkan oleh beberapa faktor. 

Pertama, menguatnya democratic governance yang membuat proses kebijakan publik tidak lagi dapat didominasi oleh negara saja. Pelibatan aktor-aktor di luar pemerintah dikarenakan tuntutan akan kualitas kebijakan yang semakin tinggi, dengan asumsi bahwa mereka memiliki informasi, pengalaman, dan tacit knowledge yang lebih baik daripada aktor-aktor yang selama ini memiliki otoritas yang sah.  

Kedua, semakin banyaknya kebutuhan masyarakat yang tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah. Kondisi ini membuat banyak kebutuhan masyarakat sebagai kolektivitas seperti barang-barang publik dan semipublik yang diselenggarakan oleh lembaga non pemerintah. Organisasi masyarakat sipil, asosiasi sukarela, dan lembaga-lembaga non pemerintah banyak bermunculan dengan aktivitas yang mengambil alih peran pemerintah.

Ketiga, sama seperti Utomo yang melihat pengaruh eksternal dalam perubahan peran negara, Dwiyanto juga melihat globalisasi telah mendorong pemerintah untuk mengurangi kegiatannya dalam berbagai kegiatan pembangunan dan pelayanan publik demi alasan efisiensi nasional. Birokrasi dianggap telah menjadi sumber inefisiensi. 

Oleh karena itu keterlibatan pemerintah dalam berbagai kegiatan perlu dikurangi, dengan asumsi peran tersebut akan digantikan oleh aktor lain seperti asosiasi sukarela dan mekanisme pasar. 

Keempat, munculnya governance bodies, yakni lembaga nonpemerintah yang diberi mandat dan kewenangan oleh pemerintah untuk mengambil kebijakan dalam bidang tertentu. Selama ini pemerintah memonopoli pengambilan kebijakan. Munculnya governance bodies yang anggota-anggotanya terdiri dari unsur pemerintah, swasta dan masyarakat, membuat persoalan publik tidak lagi dikatakan didominasi oleh pemerintah seperti selama ini terjadi.

Apabila dicermati perubahan paradigma yang terjadi dalam melihat peran negara, tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan reformasi pemerintahan- atau lebih tepatnya disebut sebagai reinventing government- yang terjadi pada pemerintahan di Amerika.

Beberapa dokumen yang dapat dijadikan rujukan misalnya Common Sense Government atau buku Reinventing Government. Ada arus besar – kalau tidak mau dikatakan revolusi – dalam menata pemerintahan di Amerika. 

Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kegagalan birokrasi weberian, birokrasi yang boros, kaku dan tidak peka kebutuhan masyarakat, tuntutan masyarakat, dan kesadaran pemimpin untuk memberikan pelayanan yang terbaik untuk masyarakat. Mereka menciptakan pemerintahan wirausaha yang mendorong terjadinya perubahan yang luas di seluruh pemerintahan di Amerika.

Birokrasi yang hierarkis dan terpusat hasil rancangan tahun 1930 atau 1940-an sama sekali tidak berfungsi dengan baik dalam masyarakat dan perekonomian tahun 1990-an yang cepat berubah, kaya informasi dan padat pengetahuan (Osborne dan Gaebler, 1994). 

Reinventing government salah satunya dilakukan dengan memangkas peran pemerintah. Pemerintah lebih ditempatkan sebagai pengarah daripada pelaksana kegiatan-kegiatan secara langsung. Pemerintah dapat menyerahkan pelaksanaan pelayanan publik kepada swasta atau masyarakat melalui berbagai mekanisme.

Dalam laporan Common Sense Government: Work Better and Costs Less (1994) disebutkan ketidaksukaan rakyat Amerika terhadap pemerintah, yang memotivasi dilakukannya perubahan. ”Americans are frustated, irritated, confused, even angry about our government- about the cost, and the hassle, and the inflexible rules, and the uncooperative attitude “(Hlm. 2). 

Setidaknya pernyataan yang tertuang dalam dokumen pemerintah ini menunjukkan kejujuran pemerintah Amerika, daripada misalnya menutup-nutupi kelemahan kinerja pemerintahan dan memamerkan kinerja yang tidak seberapa. Permasalahan ini kemudian membuat pemimpin Amerika waktu itu (1993) me-reinventing pemerintahannya, dengan prinsip getting results, putting cutomers firts, and getting our money’s worth.

Keberhasilan Amerika dalam menata ulang pemerintahannya tentu bukan tanpa suatu kondisi tertentu yang menyebabkan upaya-upaya tersebut. Persoalan yang patut dicermati adalah, pertimbangan agar pemerintahan dapat lebih efektif, efisien, adil maupun bertanggung jawab merupakan satu hal yang paling mendasar. 

Gaebler sendiri mengingatkan, ketika pemerintah mengalihkan pelaksanaan pelayanan publik kepada swasta, bukan berarti pemerintah mengalihkan tanggung jawab negara yang fundamental untuk melayani publik. “mereka mengalihkan pelaksanaan pemberian pelayanan, bukan tanggung jawab atas pelayanan”. Lebih lanjut Gaebler menyatakan :

Ketika pemerintah-pemerintah mengontrakkan beberapa kegiatan kepada sektor swasta, mereka tetap membuat keputusan kebijakan dan memberikan pembiayaan. Dan untuk dapat melakukan itu dengan baik, maka haruslah pemerintahan yang berkualitas.

Argumen-argumen Osborne dan Gaebler tentu harus dicermati secara baik agar konsep yang diterima bukanlah konsep yang sepotong. Dalam bahasa mudahnya, kita bisa saja melaksanakan konsep tersebut, tetapi dengan syarat. Syarat itu misalnya pemerintah dalam kondisi yang kuat baik dari moral maupun profesionalismenya, disamping prasyarat lain seperti kualitas sektor swasta maupun masyarakat sebagai aktor lain yang nantinya berperan.

Penjelasan mengenai peran dan kualitas negara, dijelaskan dengan baik oleh Fukuyama (2004), yang membedakan antara lingkup dan kekuatan negara. Menurutnya Amerika Serikat mempunyai sistem terbatas yang secara historis telah membatasi lingkup aktivitas negara.

Lingkup aktivitas negara di sini mengacu pada aktivitas-aktivitas yang dijalankan (dikayuh) oleh negara. Dalam lingkup aktivitas yang terbatas tersebut, kemampuan pemerintah Amerika menciptakan dan menegakkan hukum dan kebijakan-kebijakan sangatlah kuat. 

Artinya meskipun negara tidak menjalankan aktivitasnya sendiri, namun ia memiliki kekuatan untuk menjamin dilaksanakannya dilaksanakannya berbagai kebijakan, sehingga misi agar pemerintahan dapat lebih efektif, efisien, adil maupun bertanggung jawab dapat tercapai.

Yang sekarang terjadi di Indonesia, seolah-olah ada salah kaprah dalam penyerahan pelaksanaan pelayanan publik kepada swasta. Beberapa pelayanan publik yang mendasar seperti pendidikan dan kesehatan yang diprivatisasi, justru menimbulkan permasalahan karena akses masyarakat menjadi sulit. 

Hal ini karena beban biaya yang harusnya menjadi tanggung jawab negara, kini dibebankan kepada masyarakat. Padahal sebagian besar masih belum cukup kuat untuk menghadapi berbagai macam tingginya biaya hidup yang akibat krisis telah melemahkan daya beli masyarakat. 

Dalam konteks ini pemerintah bukan berupaya membuat rakyat lebih sejahtera dengan memprivatisasikan pelayanan publik, namun seolah-olah melepaskan tanggung jawabnya atas pelayanan publik.